Rabu, 08 Mei 2024

Keluar dari Comfort Zone, Mantan Wartawan Kini Sukses Jadi Distributor Sari Roti Terbesar ke 2 Nasional

 



Caption : Andi Setiawan (tengah) saat diwawancarai oleh awak media di Aula Hotel Oakwood, Surabaya, Jum’at (3/5/2024) (ari Pangistu/Ketik.co.id)

 

SURABAYA – Keluar dari zona aman dan nyaman merupakan pilihan yang berat. Namun, bukan berarti tak bisa dikerjakan. Karena bisa jadi, hal itu menjadi jalan menuju sukses.

Seperti yang kini dirasakan oleh Pemilik CV Surabaya Bintang Sejahtera, Andi Setiawan. Pengusaha berusia 51 tahun ini, berani mengambil resiko dengan meninggalkan pekerjaan yang telah ia tekuni sejak 1993 sebagai jurnalis salah satu media terbesar di Surabaya. Dan banting setir menjadi distributor produk Sari Roti pada tahun 2005.

Awalnya, Andi mengaku mengelola usahanya sembari nyambi sebagai wartawan. Hingga akhirnya memutuskan untuk fokus pada usaha Frianchise produk Sari Roti tahun 2013.

Saat ini, perusahaannya telah berhasil menjangkau distribusi di seluruh wilayah Madura dan di sekitar 15 kecamatan di Sidoarjo. Dengan omzet miliaran rupiah per bulan.

“Distributor terbesar ke 2 nasional, setelah Bali. Kalau Bali, itu omzetnya sudah Rp 8 miliar per bulan,” jelas pria yang juga pernah menjadi wartawan Harian Surya itu.

Keberaniannya mengambil keputusan untuk fokus di usaha, kata pria berkacamta itu, setelah ia mendapatkan wejangan dari Bob Sadino.

Ia menceritakan semula dirinya diajak membandingkan pendapatannya sebagai pekerja dengan keuntungan pedagang sate dalam sehari.

Merasa tertampar, ia pun punya tekat bahwa pada usia 40 tahun dirinya harus punya lompatan kuantum ke empat dalam hidup. Yakni bekerja di usaha sendiri dengan meninggalkan zona nyaman.

 “Berdzikir, dan berusaha jadi motto bisnis saya juga,” katanya.

Diakuinya bahwa memang dalam menjalankann usaha tak beda jauh dengan menjalankan media pers. Banyak pasang surut, dan saingannya.

Karena itulah, pria lulusan S1 tersebut, memegang teguh bahwa dalam membuka usaha diawal jangan cari untung dulu. Namun, mengutamakan bagaimana bisa menggaji karyawan dan memberikan kesejahteraan.

“Efek daripada untung itu adalah memberikan kita dari itu saja,” jelasnya.

Saat ini sendiri, di perusahaannya telah ada 80 karyawan dengan berbagai jenjang. Mulai dari manajer, supervisor, pekerja gudang, admin, dan salesman.

Bersama puluhan karyawannya ini, ia mengakui bahwa rivalitas dalam usaha adalah hal yang lumrah terjadi. Lebih-lebih, Frainchisenya tersebut juga menekankan tak boleh surut. Yaitu, menekankan pertumbuhan 37 persen. Jadi, jika terjadi penurunan maka gradasi final atau pemangkasan.

Itulah menjadi pemicu untuk terus membuat strategi bagaimana menjual yang baik dari prinsiple hingga distributor.

“ Jadi artinya sama-sama sinergi,” tandasnya.





Note : Tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam materi ujian saya pada Mei 2024 

 

 

Kamis, 18 Juli 2019

Terinspirasi dari Telpon Umum, Pemuda Bondowoso Buat Tensi Umum




Pemuda Bondowoso membuat tensi umum. Yakni alat pengukur tekanan darah yang bentuknya sama persis dengan telphone umum, dan diletakkan di pinggir jalan. 

Adalah Fitroh Nur Fajri, pemuda asli Desa Kejawan, RT/RW : 30/5, Kecamatan Grujugan ini, mengaku bahwa karyanya memang terinspirasi dari telephone umum yang sekarang sudah tidak terpakai dan hanya seperti pajangan di pinggir jalan. Ditambah lagi, jauhnya Puskesmas dan sedikitnya SDM kesehatan di sekitar rumahnya yang bisa memberikan layanan tensi darah pun menjadi faktor penyemangatnya untuk membuat karyanya itu. 

“Tidak selamanya yang punya dan yang bisa memberikan layanan tensi itu stand by di rumah. Apalagi di  Bondowoso, penelitian saya 2018 itu, hipertensi menduduki angka pertama sebagai penyakit tak menular pada tahun 2017,” ujar pemuda lulusan D III Keperawatan Akper Bondowoso tahun 2018 itu.

Semula, Fajri – sapaan akrabnya- melihat adanya telephone umum di Kawasan kota. Terpikir dibenaknya, untuk mengubah telephone umum tersebut menjadi alat pengukur tekanan darah. Sehingga, kerangka telephone umum itu pun bisa bermanfaat. Namun demikian, saat itu dirinya tak tahu harus menghubungi siapa untuk menggunakan telphone umum tersebut menjadi seperti yang ada dibenaknya.

Karena itulah, Fajri mencoba menduplikat telephone umum dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat dengan merogoh kocek dari kantong pribadinya hingga Rp 700ribu. Selama dua bulan dirinya merakit tensi umum tersebut sendiri. Mulai dari pembuatan kerangka telephone umum dengan besi. Kemudian, membeli tensi digital, dan tak lupa menyiapkan leaflet yang berisi berbagai penjelasan tentang hipertensi, darah rendah dan berbagai informasi tentang tekanan darah. 

Sekarang tensi umum tersebut ia letakkan di samping rumahnya. Semua warga bisa memeriksa tekanan darahnya secara gratis. Walaupun tidak ada tenaga kesehatan.
“Iya jadi hampir mirip dengan telephone umum, saya sediakan tempat duduk. Jadi warga tinggal duduk, tinggal mansetnya dipasang di lengannya, tinggal pencet, tinggal nunggu aja beberapa detik. Sudah ketauan hasilnya,” jelas laki-laki yang baru saja lulus dan tengah menunggu wisuda itu.  

Ia mengaku bahwa sekarang pun anak-anak sekolah di lingkungannya diajaknya menjadi perawat cilik. Yakni dengan mengajari mereka cara memanfaatkan tensi umum, sehingga nantinya bisa membantu para lansia yang juga ingin memeriksa tekanan darah.

“Saya tidak mengharapkan apa-apa dari warga. Terpenting semuanya bermanfaat,” ujarnya.

Ia pun berharap karyanya ini bisa diproduksi masal yakni dengan mengubah semua telephone umum yang sudah tak terpakai menjadi tensi umum. Utamanya di akwasan pelosok. Ujungnya nanti, semua warga masyarakat bisa memeriksakan diri.

“Impian saya itu, inginnya setiap desa. Apalagi yang pelosok itu bisa ada seperti tensi umum ini. Sehingga masyarakat itu tidak sampai kritis ketika ada di rumah sakit,” tutupnya.


Note : Tulisan ini telah tayang di Memoindonesia.com pada 17 April 2019. 

Estetiga Suguhkan “Secangkir Rindu Untuk Kotaku”




“Lama aku tak pulang, ke kota 1000 kenangan. Rindu tak pernah hilang. Ingin selalu datang, kembali, kesini,” 


Begitulah sepenggal lirik lagu berjudul “Secangkir Rindu untuk Kotaku” karya kolaboratif lima anak Bondowoso yang tengah merantau dan menempuh pendidikan di luar kota.
Keseluruhan lagu sungguh benar berisi kerinduan pemuda pemudi asli kelahiran Bondowoso itu akan kota yang menjadi saksi tumbuh kembang mereka. 

Mereka adalah, Lutvan sebagai  pengarang lagu dan musik, Ghuntur dan Debora sebagai vocalist, dan Sutradara Video Klip yakni Izra Tamaris, terakhir didapuk sebagai produser yakni Tiara. Kelimanya menamai diri sebagai Estetiga, yang merupakan plesetan dari kata estetika. Dan makna tiga sendiri diambil dari tiga orang inti dalam pembuatan lagu dan musiknya. 

Senin malam, 15 Juli 2019, Estetiga melaunching dan menscreening video klip lagu tersebut kepada khalayak di Cafe DRK.  
Izra Tamaris menceritakan bahwa lagu bergenre pop akustik itu dibuat karena pihaknya ingin mentransfer kepada publik tentang  apa yang tengah dirasakan mereka. Yakni sebagai perantau yang lama tidak pulang ke Bondowoso.

Setidaknya kerinduan tersebut pun bisa tergambar jelas di dalam lirik lagu yang memang banyak sekali kata-kata diambil dari icon Bondowoso. Yang ketika orang mendengarnya, langsung ingat kota yang dikenal sebagai penghasil kopi itu. Kata-kata dimaksud seperti, Jalan Diponegoro, Kotakulon – Bondowoso, biji kopi pilihan dari hamparan Puncak Ijen, sebatang gagak hitam, dan lainnya. 

“ Karena kita gerak di musik indie disitu juga tercantum tentang rokok gagak hitam (ini non komersil). Kita suarain apa adanya aja. Tanpa Batasan-batasan, tidak seperti musik industry,” jelas mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu. 

Proses pembuatan lagu dan video klip, menurut Izra, hanya memakan waktu kurang lebih satu bulan. Tak ada sepeser pun budget sponsor yang masuk. Semua dibuatnya dengan peralatan seadanya. Bahkan proses rekaman pun dilakukan di rumah salah seorang anggota. 

Karena memang sejak awal, pembuatan lagu ini hanyalah iseng yang ternyata berbuah keseriusan dalam tahapannya. Jika dibilang akan berujung pada komersial, Izra menyebut bahwa semuanya tak ada niatan ke arah tersebut. Dia dan keempat temannya hanya ingin berkarya terus untuk Bondowoso tanpa perlu diminta oleh pemerintah. Apalagi yang disuarakan dalam lagu adalah kegelisahan dan perasaan yang ingin tersampaikan kepada publik tentang kota kecil ini. 

“Harapan komersil masih belum terpikirkan tapi ya itu nanti lah ya kita mau fokus garap beberapa lagu ke depan dan bikin album, insyaAllah,” ungkapnya. 

Adapun, video klip lagu tersebut berdurasi sekitar 4 menit 59 detik. Semua spot pengambilan gambar dilakukan di Bondowoso. Seperti di rumah anggota Estetiga yakni di  Jalan Mawar, Gerbong Maut, Kebun Kopi Kluncing, Museum Kereta Api.

“Random sih lokasi shootingnya, lebih mengambil landscape kota, Alun-alun gerbong maut, stasiun dan rumah. Karena kan memang menggambarkan kerinduan ke Bondowoso,” pungkasnya.



Note : Tulisan ini telah tayang di Memoindonesia.com dan Koran Harian Memo Timur untuk edisi Rabu 17 April 2019.

Selasa, 02 April 2019

Budaya Antri Berwudhu Hingga Polimia

Sejumlah murid MI At-Taqwa, Bondowoso sedang antri untuk berwudhu, Senin (1/4). Kegiatan antri untuk berwudhu seperti ini, menjadi pemandangan sehari-hari saat jelang pelaksanaan sholat Duha, Dzhuhur, dan Azhar. Tak ada satupun yang menyerobot antrian saat berwudhu.


Tampak sejumlah pelajar kelas enam MI At Taqwa mengenakan rompi orange, Selasa (4/1). Mereka bertindak sebagai Polisi MI At Taqwa (POLIMIA). Tugas mereka yakni memastikan semua adik kelas melaksanakan ibadah sholat dengan tertib. Ada sebagian yang berkelilin masjid dan sekolah untuk memeriksa, murid-murid yang "bolos" sholat jamaah Duha, dan Dzuhur. Hal serupa dapat disaksikan pula di shaf jamaah laki-laki.


Shinta Yulia Maharani (Nomer dua dari kiri) mersama tim Polimia MI At Taqwa, saat setelah selesai melaksanakan tugasnya, Senin (1/4). Ia bercerita bahwasanya pelajar-pelajar yang ketahuan "bolos" sholat jamaah maupun tertangkap basah tengah bercanda saat menjalan sholat, akan diminta untuk membaca istighfar sebanyak 250 kali, dan melaksanakan sholat lagi.

Jumat, 29 Maret 2019

Biar Jauh Asal Bisa Makan


Jarak yang jauh bukanlah penghalang untuk meraup rejeki . Demi menafkahi keluarganya, seorang laki-laki paruh baya, dari Bantul, Jogjakarta, rela datang ke Bondowoso untuk berjualan wayang.

Dengan mengenal pemain-pemain gamelan di Pertunjukan wayang, Saridi dapat dengan mudah mendapatkan informasi pertujukan wayang, termasuk Pertunjukan wayang dalang Ki Anom Suroto di Bondowoso Sabtu, 21 September 2014. Ibarat perangko dan surat, Saridi selalu ada ketika pertunjukan wayang berlangsung, baik di luar kota maupun di luar provinsi. Hal seperti  ini bahkan telah Ia jalani semenjak lulus SMA.  
         
“Saya dapat informasi mbak dari dalang-dalang itu,” katanya

Ketika berjualan di luar kota, Saridi biasanya membawa 75 sampai 100 wayang. Memang tidak terlalu banyak, tapi paling tidak Saridi bisa menjual wayang separuhnya (50 wayang) dan Saridi bisa mendapat uang Rp 7  juta 500 ribu sampai Rp 10 juta an. Tapi tidak setiap saat Saridi bisa meraup untung sampai jutaan rupiah, terkadang jika tanggal tua penghasilannya pun seret. Bahkan tidak cukup untuk biaya pulang. 

“Kalau tanggal muda enak mbak bisa laku banyak, tapi kalau tanggal tua seret biasanya,”ujar laki-laki berkumis itu.

Wayang keluarga Pandawa, Krisna, serta Wono kawan, adalah wayang-wayang yang paling digemari oleh pembeli. Saridi saja tidak mengerti mengapa tokoh-tokoh itulah yang menjadi kegemaran, hanya saja kata Saridi para calon pembeli wayangnya lebih banyak memilih tokoh-tokoh baik ketimbang tokoh wayang jahat yang dia buat. 

Selain ketokohan wayang, pembeli, kata Saridi, kadang juga memperhatikan halus dan kasarnya pahatan-pahatan. Calon pembeli dengan ciri seperti ini, biasanya tidak peduli dengan harga. Mereka berani membeli dengan harga yang mahal asalkan bisa mendapatkan wayang dengan pahatan halus.

Harga wayang-wayang Saridi beragam. Wayang dengan pahatan kasar, dan menggunakan kayu biasanya Saridi jual Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Sedangkan Untuk wayang dengan pahatan yang halus dan kerangka terbuat dari tanduk kerbau harganya Rp 350 ribu sampai Rp 500 ribu. Untuk membuat selembar wayang halus, Saridi memhabiskan waktu sampai tiga hari. Sedangkan untuk wayang dengan pahatan kasar dia membuatnya cukup satu hari saja. 

“Kalau yang halus begini mbak itu sampi tiga hari, kalau yang kasar-kasar itu cukup satu hari. Kalau dulu buat wayang itu ndak sembarangan sampai harus puasa loh mbak, apalagi pas buat Gunungan. Kan Gunungan itu ada isinya mbak” jelas Saridi, di depan Pendopo Kabupaten Bondowoso. 

Apresiasi masyarakat Bondowoso untuk beli wayang, kata Saridi, tidak terlalu tinggi. Menurutnya karena kebanyakan masyarakat Bondowoso adalah orang Madura. Jadi sabtu malam itu, wayang Saridi lebih banyak dibeli oleh masyarakat dari luar kota, seperti Ambulu, Banyuwangi, Probolinggo, sampai Surabaya.

Bagi Saridi, berjualan wayang bukan hanya sekedar mencari untung belaka. Namun, juga untuk mempertahankan seni tradisi jawa. Walau tidak setiap hari bisa menjual wayang dengan mendapat untung banyak paling tidak kantong Saridi terisi untuk bisa menafkahi anak dan istrinya.


Note :Tulisan ini sebenarnya saya tulis pada 2014 lalu, dan sudah tayang sebagai berita feature di Radio Romantika. Kala itu, saya baru belajar menjadi seorang jurnalis radio, dan langsung mendapat tugas untuk menulis berita feature. Jadi, bisa dibilang ini adalah tulisan feature pertama saya. Sayang, di radio tempat saya bekerja, waktu itu, tidak ada web untuk mempublish tulisan ini. Oleh karena itu, saya posting kembali di blog pribadi ini. Walaupun berita ini sudah saya liput cukup lawas, mudah-mudahan bisa tetap  memberikan inspirasi bagi pembaca. Untuk photo Pak Saridi yang saat itu tengah berjualan sudah tidak ada di file USB saya. Jadi, tidak bisa saya share di tulisan ini. Namun, sekali lagi, mudah-mudahan cerita ini tetap bisa menginspirasi.